Review Film: Istirahatlah Kata-kata, Visualisasi Aktivis Masa Orde Baru

Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya film besutan Yosep Anggi Noen berjudul Istirahatlah Kata-kata tayang di bioskop Indonesia pada 19 Januari 2017. Film biografi ini memvisualisasikan bagaimana sosok Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) melarikan diri ke kota Pontianak. Selama hampir 8 bulan di Pontianak, Wiji tinggal berpindah-pindah rumah bahkan tinggal bersama dengan orang-orang yang sama sekali belum dia kenal, seperti rumah dari seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono).

Marissa Anita memerankan Sipon, istri Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-Kata
Marissa Anita memerankan Sipon, istri Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-Kata

Di balik itu, sosok Wiji merupakan seorang penyair sekaligus aktivis yang kritis terhadap ketidakadilan penguasa. Puisi-puisi yang telah ia buat merupakan cara bagaimana ia berontak di masa Orde Baru saat banyak orang-orang bungkam dalam ketakutan. Selama pelarian pun ia enggan berhenti mengutarakan kata demi kata dalam bentuk puisi.

Sementara itu, jauh di Solo, Sipon (Marissa Anita), istri Wiji Thukul harus hidup bersama dua anaknya. Hidup dalam tekanan, rumah yang selalu diawasi polisi, bahkan koleksi buku-buku Wiji harus rela disita. Tidak hanya itu, Sipon dan anaknya harus membuka mulut saat diinterogasi. Film Istirahatlah Kata-kata bisa menggambarkan bagaimana rezim di masa itu, bagaimana seorang aktivis sangat terancam di masa itu, bagaimana menjadi kritis itu sangat dilarang kala itu.

Sebaiknya jangan terlalu berekspektasi lebih pada film ini dan lebih baik kalian yang menonton film ini, lebih tahu dulu siapa sosok Wiji Thukul sebenarnya. Film ini memang mengisahkan bagaimana pelarian sosok Wiji Thukul yang menjadi buronan, namun sang sutradara tidak menampilkan banyak informasi bagaimana konflik seorang Wiji Thukul dijadikan buronan. Tidak ada cerita tentang bagaimana kisah hidupnya dengan detail, bagaimana ia membacakan setiap puisi-puisinya pada publik, atau pun visualisasi demonstran di masa itu.

Seperti sebuah monolog, selama kurang lebih 1 jam, Istirahatlah Kata-kata lebih banyak menampilkan keheningan yang mencekam dengan suara Gunawan membacakan penggalan demi penggalan syair puisi sang Wiji Thukul. Mungkin akan terasa bosan dan garing bahkan mengantuk, namun pada pertengahan film kita bisa melihat bagaimana sosok Wiji bisa lepas dan mulai memunculkan guyonan lucu bersama Thomas dan Martin di salah satu kedai. Meski tidak banyak, namun cukup menghibur.

Menjadi sosok Wiji, Gunawan benar-benar ahli sekali memerankannya. Meski tidak banyak dialog yang ia ucapkan, mimik yang ia berikan pada setiap adegan sudah mewakili bagaimana rasa cemas, putus asa dan takut sehingga bisa menggambarkan bagaimana situasi pada masa itu. Selain itu, sosok yang kita kenal sebagai news anchor, Marissa Anita, apik sekali memerankan sosok ibu yang harus hidup menanggung pilu menahan tekanan, kuat, dan penyayang.

Bagi sebagian orang mungkin akan terlihat aneh sosok Gunawan yang terlihat begitu nyeni dipasangkan dengan Marissa yang kita lihat cantik dalam penampilan mereka sebagai pasangan suami istri. Namun sang sutradara sepertinya bisa menyatukan kedua sosok manusia berseberangan ini dalam satu cerita. Terlebih lagi pada akhir cerita saat mereka dipertemukan kembali. Menampilkan romantismenya mereka berdua, sosok keluarga yang utuh dengan hidup sepenanggungan dengan berbagai macam masalah hidup, sampai pada puncaknya bagaimana kita akan dibuat bertanya-tanya atau akan diam setelah film ini selesai.

Tak perlu tunggu lama-lama untuk melihat bagaimana sejarah mencatatnya. Beli tiket bioskop online untuk nonton Istirahatlah Kata-kata di sini!

 

 

Baca juga:

Sejarah Film Nasional Yang Wajib Diketahui

Berkaca Dari Kengerian 5 Film Makar

5 Fakta Film Pengkhianatan G30S PKI Patut Diketahui Generasi Milenial