Review Film: Bumi Manusia, Relevansi Pergulatan Cinta dan Kelas Sosial

Ketika dikenalkan pertama kali tak ada yang menyangka, salah satu buku terbaik karya Pramoedya Ananta Tour yang berjudul Bumi Manusia akan difilmkan.  Disutradarai oleh Hanung Bramantyo Film ini menempatkan Iqbal Ramadhan Mawar Eva de Jongh, Ine Febriyanti, Ayu Laksmi, Donny Damara untuk tampil di filmnya.

Jika melalui buku, Pram mampu menciptakan narasi yang luar biasa indah, lalu bagaimana dengan film Bumi Manusia? Berikut ulasannnya.

Era kolonial merupakan masa-masa dimana semuanya serba sulit. Kerangka berpikir diciptakan melalui framing-framing subjektif. Pribumi-Belanda dan Nyai adalah bagian-bagian dari semuanya ini. Pertemuan antara Minke (Iqbaal Ramadhan) dan Annelies (Mawar De Jongh) hanyalah bagian awalnya saja.

Namun, logika cinta tak semudah puisi-puisi Dilan. Pada masa itu, Minke dan Annelies harus berhadapan dengan karakter-karakter yang terkurung dalam sudut pandangnya sendiri. Bagi keluarga Minke, tinggal di tempat seorang Nyai merupakan hal yang tidak berbeda jauh dengan hal yang menjijikkan.

Pada masa itu, Nyai dianggap memiliki status sosial tak jauh berbeda dengan binatang. Namun, Minke justru mengagumi apa yang dilakukan Nyai Ontosoroh, Ibu dari Annelies. Meskipun ditentang keluarganya, Minke percaya masih ada hal-hal baik yang dapat mengubah bagaimana cara seseorang melihat sosok Nyai.

Konflik makin rumit ketika Nyai harus memperjuangkan hak-haknya di ranah kehidupan Feodal. Tak diakui oleh pengadilan sah tentang kepemilikan Annelies. Dihujat dan digunjingkan di tanah sendiri oleh kaumnya. Hal ini pun merembet kepada kisah cinta Minke dan Annelies.  Film yang mengisahkan perjuangan dengan gaya drama kolosal yang sangat kompleks.

Bumi Manusia adalah kisah perjuangan kelas, perjuangan seorang Pribumi yang menuntut keadilan baginya, bagi mertuanya dan bagi bangsanya. Perjuangan yang akhirnya meruncing menjadi pertentangan antara Hukum Eropa dan Hukum Islam. Hukum Eropa, sebagai sebuah tatanan aturan yang dianggap ‘beradab’ dan ‘modern’ ternyata tidak lebih dari sekedar hukum yang menjerat dan menyengsarakan.

Ragam Sudut Pandang

review-film-bumi-manusia-relevansi-pergulatan-cinta-dan-kelas-sosial

Memang, tidak semua buah pikiran Pram divisualisasikan di dalam filmnya. Namun, Bumi Manusia versi layar lebar cukup baik dalam memaparkan cerita. Tidak terburu-buru plus dengan latar masa lalu. Satu hal yang sebenarnya sangat sering dilakukan Hanung Bramantyo ketika membuat film.

Jadi, jika bicara alur cerita dan plot, film ini baik-baik saja. Hanya saja untuk beberapa bagian, terasa lambat dan mungkin akan memancing kamu untuk menguap dan terus menguap. Meskipun cukup baik dalam memaparkan cerita, namun ada sudut pandang lain yang bisa dilihat dari film ini. Penggunaan  bahasa akan menjadi bagian yang bisa dinikmati di dalam film ini.

Dialog-dialog menggunakan bahasa Jawa dan Belanda diselingi dengan berbagai dialog-dialog romantis bak mengucapkan tulisan-tulisan Pram menjadi sisi lain dari film ini. Mau tidak mau, pengaruh Iqbaal Ramadhan sebagai Minke mampu menarik perhatian.

Hanya saja, kali ini ia tak bergaya remaja ala ’90-an. Namun seorang anak muda yang hidup di masa lalu. Berjuang melalui pikiran dan bukan lagi dengan rayuan-rayuan gombalnya. Meskipun begitu film ini masih relevan dengan kehidupan di masa kini.

Jenjang status sosial yang begitu tinggi dengan terkurungnya pemikiran yang masih subjektif bisa jadi adalah sudut pandang lain yang diambil dari film ini.

Kekuatan Para Pemeran

film-bumi-manusia-pergolakan-cinta-dan-status-sosial-di-era-kolonial

Iqbaal boleh saja punya daya tariknya sendiri. Namun, ada satu pemeran lain yang mencuri perhatian. Ia adalah Sha Ine Febriyanti yang berperan sebagai Nyai Ontosoroh.

Ine Febriyanti tampil baik memainkan karakter wanita Jawa yang berada dalam fase-fase sulit hidupnya. Keras, namun terus berjuang demi hak-haknya sebagai seorang manusia dan wanita. Ketika kamera menyorot tatapan matanya, penonton sudah langsung bisa merasakan bagaimana karakter ini begitu kuat menampilkan perannya.

Tak hanya itu, Ine Febriyanti yang berperan sebagai Nyai Ontosoroh juga berhasil merebut simpati penonton dengan rumitnya latar permasalahan yang ia hadapi.

Set Desain yang Baik

review-film-bumi-manusia-relevansi-pergulatan-cinta-dan-kelas-sosial
Sumber: Falcon Pictures

Hanung Bramantyo sebagai sutradara patut diacungi jempol jika mengerahkan energinya untuk membuat film dengan latar belakang sejarah. Salah satunya adalah bagaimana ia memvisualisasikan pikirannya pada tim produksi untuk menghasilkan set desain yang baik.

Budaya, tempat, alat transportasi hingga hal detil seperti gestur tubuh menjadi pelengkap set desain yang sudah disiapkan untuk filmnya. Suasana kolonial begitu sangat kuat di dalam film in. Penggunaan warna yang terkesan vintage juga menjadikan film ini menggambarkan bagaimana kehidupan masa lalu.

Semuanya dikombinasikan dengan gaya sinematografi yang punya baik pula. Komposisi demi komposisi hingga angle gambar yang ditampilkan  membantu film ini tampil baik. Plus, scoring musik yang memang membuat penonton berada dalam suasana masa lalu. Berdiri di tengah hiruk-pikuk kekalutan tatanan sosial masyarakat yang kasar dan perihnya mempertahankan sesuatu yang dicintai.

Bumi Manusia memang bukan film terbaik Hanung Bramantyo. Namun, dari Bumi Manusia kamu bisa melihat banyak sudut pandang yang baru dalam dunia dalam sebuah film. Iqbaal yang tak lagi bermain sebagai seorang remaja berandalan dengan motornya, atau mendapatkan narasi baru tentang bagaimana perjuangan seseorang untuk mendapatkan hak yang setara dengan manusia lainnya.

Film Bumi Manusia akan tayang pada tanggal 15 Agustus 2019 di bioskop, kamu sudah bisa cek jadwal dan beli tiket nontonnya di situs atau aplikasi BookMyShow yang tersedia gratis bagi pengguna Android dan iOS.