Review Film: Melihat Kehidupan Luar Biasa Remaja 60an Bersama The Beatles: Eight Days a Week

Oh, The Swinging Sixties! Mulai dari fashion, rock ‘n’ roll, kemunculan generasi baby boomer, hingga gerakan Flower Power dan para hippies, era 1960-an memang tiada duanya. Apa ya rasanya hidup sebagai remaja masa itu? Bagaimana rasanya menjadi anak-anak muda yang mengalami transisi dari zaman pascaperang menuju era modern? Nah, itulah yang akan kamu alami dalam film dokumenter The Beatles: Eight Days a Week.

John, Paul, George, Ringo — kita kini mengenalnya sebagai The Fab Four yang mengguncang dunia, grup band legendaris yang lagu-lagunya kekal sepanjang masa. Terkadang kita lupa bahwa mereka juga hanya manusia biasa seperti kita. Para personel The Beatles baru menginjak awal usia 20 tahun ketika album pertama mereka, Please Please Me (1963) meledak di pasaran. Bisa dibayangkan dong, bagaimana kagetnya anak-anak Liverpool ini menghadapi ketenaran yang mendadak. Dikejar ribuan fans dan wartawan menjadi santapan sehari-hari The Beatles. Senang? Sudah pasti. Lelah? Ya, siapa pun tentu merasa tertekan menjalani hidup seperti itu. Lewat film ini kamu bisa melihat sisi manusiawi di balik popularitas The Beatles.

blog-jamming

Meski berbeda zaman, tetap relatable

“Berbeda dengan Elvis, kami adalah empat orang. Elvis selalu sendirian, sementara kami punya satu sama lain. Untuk mengambil keputusan, kami selalu berdiskusi sampai sepakat satu suara,” jelas George dan Ringo. Yup, di film ini kamu juga akan menyaksikan betapa kuatnya chemistry The Beatles. Sayangnya, seiring waktu berlalu persahabatan pun merenggang karena mereka sibuk dengan rumah tangga masing-masing. Sounds familiar?

Selain itu, melihat kelakuan remaja tahun 1966 dijamin bikin kamu merasa relate dengan kelakuan generasi muda tahun 2016. Misalnya, aksi histeris cewek-cewek Beatlemania ternyata mirip sekali dengan aksi fangirl di konser Justin Bieber atau One Direction. Ditunjang dengan teknik restorasi 4K yang luar biasa jernih, sukses membuat kita merasa bagai di tengah-tengah mereka!

blog-fans

Stres dan tekanan yang dialami The Beatles

Tidak cuma membahas sisi baiknya saja, Eight Days a Week mengupas betapa muaknya John dkk dengan diri mereka sendiri. Mereka lelah hidup sebagai grup berambut mop-top yang digandrungi cewek-cewek. Tekanan ini mendorong mereka berganti penampilan dan mulai berani bereksperimen dengan jenis musik lain. Ya, ini adalah salah satu keunikan The Beatles yang pantas kita kagumi — mereka selalu berani berpendapat dan jujur pada diri sendiri.

Film ini memang hanya merangkum perjalanan karir hingga 1966 (The Beatles bubar tahun 1969). Eits, kalau kamu penggemar The Beatles era avant-garde, tidak perlu kecewa karena nantinya ada sedikit footage Rooftop Concert mereka. Konser kecil ini adalah terakhir kalinya The Beatles tampil bersama.

 

blog-rooftop

Kumpulan footage yang bikin terharu

Selain wawancara dengan Paul McCartney (74) dan Ringo Starr (76), Eight Days a Week turut diramaikan dengan testimoni selebritis lainnya yang pernah mengalami fenomena British Invasion di Amerika. Sebut saja musisi Elvis Costello, komedian Whoopi Goldberg, dan aktris Sigourney Weaver. Ada juga orang-orang terdekat mereka, seperti jurnalis Larry Kane (73) dan sutradara A Hard Day’s Night Richard Lester (84). Walau sudah tua, para kakek ini masih ingat jelas kenangan mereka di tahun 1960-an seolah-olah seperti baru terjadi kemarin. Terharu deh!

Memang tidak ada yang baru dari film ini, tapi usaha sang sutradara Ron Howard merangkai ratusan footage The Beatles menjadi satu alur cerita yang apik, pantas kita apresiasi. Bukan hanya itu, dokumenter ini berhasil menyatukan kita sebagai manusia. Saya, kamu, John, Paul, George, Ringo, serta para Beatlemania. Meski kita berbeda negara dan zaman, ternyata semua manusia memiliki karakteristik yang sama. Semua orang pernah mengalami masalah dalam persahabatan dan karir. Layaknya lagu I Am The Walrus, “I am he, as you are he, as you are me, and we are all together.”

blog-1963

The Beatles: Eight Days a Week sedang tayang di CGV blitz dan Cinemaxx. Jangan sampai ketinggalan, segera beli tiketmu di sini.

 

 

Leave a comment