Empat tahun setelah kesuksesan film Habibie & Ainun, kini MD Pictures kembali meluncurkan karya terbarunya, film Rudy Habibie yang merupakan prekuel dari kisah hidup Habibie sebelum menikah dengan Ainun. Film arahan Manoj Punjabi ini berfokus pada lika-liku perjuangan Habibie selama bersekolah di Aachen, Jerman.
Film dibuka dengan masa kecil Rudy di Parepare, Sulawesi. Kita diperkenalkan pada Rudy kecil yang pandai dan bercita-cita membuat pesawat. Di sini juga dijelaskan bahwa orangtua Rudy berasal dari dua suku yang berbeda, sehingga Rudy terbiasa hidup dalam pluralisme sejak kecil. Namun sayang Rudy terpaksa hidup berpindah-pindah lantaran banyaknya serangan udara pada masa perang. Pemandangan alam Sulawesi yang indah serta efek visual ledakan-ledakan bom berhasil memukau penonton.
Kemudian kita dibawa menuju masa ketika Rudy yang sudah dewasa (Reza Rahadian) baru saja tiba di Aachen untuk mengikuti tes masuk Universitas RWTH. Di sekolah ini ia mendapatkan teman-teman baru yang berasal dari latar belakang yang beragam. Ada kenalan lamanya dari ITB, Liem Keng Kie (Ernest Prakasa), seorang keturunan Tionghoa dari Bandung. Ada putri Sultan Solo, Ayu (Indah Permatasari) serta abdinya, Sugeng (Bagas Luhur Pribadi). Ada juga Peter Manumasa (Pandji Pragiwaksono), yang merupakan mantan tentara pejuang kemerdekaan, serta Poltak Hasibuan (Boris Bokir), anak Medan yang ceria. Mereka semua merupakan penerima beasiswa pemerintah, kecuali Rudy yang dibiayai oleh ibunya.
Nah, di sinilah film Rudy Habibie menjadi seperti kisah anak SMA. Sebagai murid non-beasiswa, ia sering di-bully oleh sekumpulan mahasiswa ikatan dinas alias Laskar Pelajar. Mereka meragukan kepintaran Rudy dan kerap mengejeknya. Di sisi lain, terjadi cinta segitiga dengan Ilona Ianovska (Chelsea Islan), yang menyebabkan persahabatan Rudy bersitegang. Hmm, too much drama?
Ada banyak kejadian bersejarah dalam film ini, misalnya seperti saat Rudy menggagaskan pembuatan organisasi PPI Aachen, atau saat ia memperjuangkan jalannya Seminar Pembangunan bagi seluruh mahasiswa Indonesia di Eropa. Berkali-kali Rudy harus berseteru dengan pihak pemerintah. Namun akibat fokus cerita yang bercabang-cabang, justru hal-hal penting ini tidak dijabarkan dengan detail. Contohnya seperti masalah Irian Barat atau ketidakikutsertaan Indonesia dalam NATO yang mungkin membuat penonton bingung.
Sosok Rudy Habibie dalam film ini digambarkan begitu jenius dan sempurna. Ketika diremehkan oleh orang, dalam sekejap ia berhasil membuktikan bahwa mereka salah. Walau pun bossy, tapi Rudy tetap populer di kalangan mahasiswa Indonesia. Didera berbagai kesulitan, Rudy selalu rajin salat dan bertakwa kepada Tuhan. Masalah yang dihadapi Rudy semuanya eksternal, seperti kekurangan uang, kelaparan, sakit, atau idenya ditentang. Penggalian karakter Rudy tidak terlalu terasa karena sejak awal ia paling pintar dan selalu benar. Padahal justru kita ingin melihat perubahan seorang mahasiswa muda yang perlahan-lahan berkembang menjadi tokoh negara yang visioner pada masa itu.
Reza Rahadian sekali lagi menyuguhkan performa terbaiknya sebagai Rudy Habibie. Dengan aksen yang khas dan bahasa Jerman yang fasih, Reza terlihat sangat alami sebagai anak muda di tahun 1950-an. Akting Reza mungkin terasa begitu dekat dengan orang-orang yang pernah merasakan sulitnya merantau di negeri orang. Emosinya ketika merasakan kegagalan, serta kesedihannya saat jatuh sakit dan homesick begitu memilukan. Malu, tidak mau merepotkan orangtua, dan ingin membuktikan bahwa dia bisa berdiri sendiri, merupakan suatu fase yang pasti pernah dirasakan mahasiswa mana pun.
Penampilan teman-teman Rudy semuanya patut diacungi jempol. Ernest dan Pandji yang memiliki latar belakang sebagai stand up comedian, ternyata mampu berakting serius. Indah Permatasari sebagai Ayu juga tampil menarik dengan logat Jawa. Sayang justru peran Ilona rasanya kurang pas dibawakan oleh Chelsea Islan. Aksen Chelsea terdengar agak memaksakan, selain itu secara fisik juga Chelsea lebih terlihat seperti orang Indonesia ketimbang orang Polandia.
Bicara soal fisik, film Rudy Habibie turut didukung oleh setting dan kostum era 1940-1950-an yang elegan. Tetapi terkadang kita menemukan penampilan yang tidak sesuai zamannya, seperti rambut lurus yang digerai panjang, konde yang modern, atau fashion ala 1960-an. Memang ini adalah salah satu kekurangan perfilman Indonesia dalam membuat period movie yang masih perlu ditingkatkan lagi.
Pada akhirnya, pesan moral yang ingin disampaikan dalam film ini kurang jelas akibat alur cerita yang rumit. Kita semua tahu bahwa Rudy Habibie akhirnya kembali ke Indonesia karena ia ingin membangun Indonesia yang lebih baik. Akan tetapi poin utama tentang cinta Tanah Air ini malah tertutup dengan bumbu percintaan, kisah masa kecil Rudy, masalah perbedaan suku dan agama, dan adegan-adegan komedi yang sebetulnya tidak perlu.
Mungkin lewat film ini Manoj Punjabi bermaksud mengungkap sisi seorang Rudy Habibie yang lebih manusiawi dan mudah dicerna oleh semua kalangan. Dengan setting Eropa yang cantik, cerita yang berbobot, dan sederet pemain ternama, film ini memang cocok sebagai inspirasi segala umur.
Rudy Habibie akan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai 30 Juni 2016. Sebelum menonton, yuk kita tonton trailer film Rudy Habibie berikut ini:
Yuk, segera pesan tiket Rudy Habibie di sini sebelum kehabisan. Jangan lupa install aplikasi BookMyShow untuk Android di sini.