Review Film: The Wall, Film Perang Low-Budget yang Pantas Dapat Penghargaan

Di tengah maraknya blockbuster summer movies yang tengah merajai bioskop-bioskop Tanah Air, kini hadir film perang indie The Wall garapan Amazon Studios. Sekilas The Wall memang terlihat ‘kalah’ dibandingkan film lainnya, karena hanya bermodalkan satu lokasi syuting dan dua aktor. Siapa sangka film low budget ini rupanya mampu menyajikan mind games yang sangat apik dalam durasi 90 menit.

Film dibuka dengan dua tentara Amerika di gurun pasir Irak pada tahun 2007. Walau Perang Irak sudah berakhir, Isaac (Aaron Taylor-Johnson) dan atasannya, Sersan Matthews (John Cena) masih mengintai keberadaan sniper misterius yang berhasil menembak mati rekan-rekan mereka hanya dengan satu tembakan jitu di kepala. Setelah menunggu lama tanpa hasil, akhirnya Matthews beranjak dan menginvestigasi lokasi lain.

Di tengah sunyinya medan perang yang tak bertuan, suasana yang awalnya santai mendadak berubah mencekam ketika Matthews tertembak entah dari mana. Di sekeliling mereka hanya ada gurun pasir yang jelas-jelas kosong. Di mana penembak itu bersembunyi? Sambil mengamankan diri di balik satu-satunya reruntuhan tembok yang ada, dapatkah Isaac menemukan sosok sniper tersebut dan menyelamatkan Matthews?

Cerita sederhana didukung karakter yang kuat

Film-film yang berlatar belakang satu lokasi seperti ini biasanya bergantung pada karakternya. Untungnya, The Wall telah menjatuhkan pilihan yang tepat untuk pemeran utamanya, yaitu Aaron Taylor-Johnson, salah satu pemenang Golden Globes tahun ini. Aksen Southern-nya yang kental membuat kita lupa bahwa aktor berusia 27 tahun ini berasal dari Inggris. Apalagi melihat perjuangannya yang berdarah-darah, aduh, ngilu! Berbagai cobaan terus menerus mendera Isaac, mulai dari dehidrasi, radio rusak, diterpa badai pasir, dan masih banyak lagi. Aaron Taylor-Johnson totally deserves an award for this role.

Film ini hanya memiliki 3 tokoh, yaitu Isaac, Matthews, dan Juba, si sniper. Ketiganya berhasil melengkapi satu sama lain. Matthews diperankan oleh pegulat WWF John Cena, yang di luar dugaan bisa mengimbangi Taylor-Johnson dengan baik. Celotehan dan sumpah-serapah dua sekawan ini cukup membuat penonton tertawa. Sementara itu, sosok Juba hanya diperdengarkan melalui suara transmisi radio, yang diperankan oleh Laith Nakli. Walau cuma suaranya saja, keberadaan Juba sukses membuat kita semua frustasi. “Tell me about yourself. I want to get to know you,” ucapnya, seolah bermain-main dengan nyawa Isaac. Tak sekadar aksi tembak-tembakan, karakter psikopat ini turut menambahkan bumbu psychological thriller yang menjadikan The Wall semakin seru.

Singkat, lugas, dan padat

Pengemasan The Wall tidak banyak basa-basi. Walau hanya menghadapi satu musuh, tapi pertaruhan hidup dan mati di medan perang benar-benar terasa. Melalui obrolan di radio yang menyingkap masa lalu Isaac, kita diperlihatkan betapa beratnya beban mental seorang tentara. Tidak ada momen yang disia-siakan dalam The Wall, semuanya penuh ketegangan tiada henti. Sepertinya sutradara Doug Liman (Edge of Tomorrow) memang sudah ahli meracik film-film war action yang bikin penonton penasaran sampai akhir. Eits, tak sampai di situ, The Wall juga ditutup dengan ending yang tak terduga. Dijamin kamu bakal menjerit “oh damn!” sambil melongo.

Penasaran ingin lihat aksi Aaron Taylor-Johnson dan John Cena di bioskop? Jangan sampai ketinggalan, The Wall tayang mulai 14 Juni 2017 di CGV dan Cinemaxx. Beli tiketmu di sini.

 

 

Baca juga:

Transformasi Aaron Taylor Johnson dari Film ke Film

10 Fakta Wajib Tahu Tentang Aaron Taylor-Johnson

One thought on “Review Film: The Wall, Film Perang Low-Budget yang Pantas Dapat Penghargaan

Comments are closed.