Review Film: Breathe, Getirnya Perjuangan Hidup Andrew Garfield

Andrew Garfield semakin menancapkan taringnya di kancah perfilman spesialis drama biopik. Setelah kesuksesan Hacksaw Ridge (2016) yang disusul oleh Silence (2016), mantan pemeran Spider-Man ini makin menggebu-gebu beraksi di film selanjutnya.

Kali ini Garfield hadir dalam Breathe, film biopik yang mengangkat kisah hidup Robin Cavendish, penderita polio yang menjadi creator kursi roda. Sosoknya yang inspiratif membuat sang anak, Jonathan Cavendish memproduseri film ini dengan menggandeng Andy Serkis yang untuk kali pertama duduk di kursi sutradara.

Film dengan nuansa tahun 50-an ini bercerita tentang Robin Cavendish (Andrew Garfield) yang bertahan hidup bersama dengan penyakit polio yang dideritanya. Dimulai dengan adegan bersetting di Inggris, Robin sedang menikmati waktu bersama teman-temannya bermain cricket dan melihat Diana (Claire Foy) yang sedang duduk menikmati waktu minum teh, seketika ia pun jatuh hati hingga kemudian menikah.

Permasalahan dimulai saat Robin merasakan nyeri di persendian kemudian segera dilarikan ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, ia sudah tidak bisa menggerakkan tubuhnya, bahkan untuk bernapas sendiri juga sudah tidak bisa sehingga harus menggunakan alat respirator bantuan pernapasan.

Dalam keadaan depresi, Robin mengatakan bahwa lebih baik ia mati saja. Diana tidak menyerah begitu saja terhadap keadaan suaminya, apalagi mereka sudah memiliki anak. Beberapa hari berlalu, kesehatan Robin perlahan membaik dan kini ia sudah bisa berbicara. Ia mengatakan sangat ingin keluar dari rumah sakit, tapi tidak diperbolehkan. Akhirnya mereka pun nekad kabur diam-diam. Dimulailah kisah Robin dan Diana untuk memperjuangkan kehidupan Robin agar tetap bisa bernapas.

Dengan nuansa vintage, pemandangan di Inggris, Kenya, dan Spanyol, film yang diangkat dari kisah nyata ini menghadirkan sebuah karya artistik sekaligus mengharukan. Pengalaman pertama Andy Serkis sebagai sutradara ni terasa cukup impresif. Didukung pula dengan lagu-lagu jadul bertemakan cinta membuat penonton terhanyut dalam getirnya kisah Robin. Ditambah dengan beberapa adegan saat Robin berada di kursi roda yang dengan bantuan alat respirator juga membuat penonton terkagum-kagum dengan inovasi yang dilakukan pada zaman itu.

Jonathan Cavendish sendiri memproduseri film ini sebagai bentuk tribute kepada sang ayah. Karakter Robin juga diperankan oleh Andrew Garfield dengan apik, akting dan dialognya yang emosional membuat penonton trenyuh sepanjang film. Claire Foy juga dapat menyeimbangi akting Garfield. Ia menjadi Diana, seorang istri yang kuat menghadapi cobaan yang menimpa Robin dan enggan meninggalkannya. Selain mereka berdua, Tom Hollander yang berperan sebagai kakak laki-laki kembar Diana (Bloggs Blacker dan David Blacker) juga menunjukkan kemampuan aktingnya dengan baik.

Meski begitu, film ini tidak luput dari kekurangan seperti plot dan alur cerita yang mudah ditebak, kurangnya konflik dalam cerita, nuansa yang terlalu monoton, dan pengembangan karakter yang kurang, seperti terlalu diburu-buru sehingga ada beberapa karakter yang terkesan hanya lewat saja padahal jika dikembangkan akan membuat film ini lebih emosional.

Secara keseluruhan, Breathe tentu akan menunjukkan betapa hebatnya dukungan dan bantuan dari orang-orang terdekat, rasa sayang, serta keinginan untuk hidup dan memanfatkan hidup dengan sebaik-baiknya.

Film Breathe tayang di bioskop Indonesia mulai 22 November 2017. Pesan tiketnya di BookMyShow. Klik di sini.

 

Penulis:

Natasha Cindy

 

Baca juga:

Daftar Film Hollywood Tayang November 2017

Review Film: Hacksaw Ridge, Sajian Menjanjikan Kembalinya Mel Gibson