Review Film: 22 Menit, Getir Urban Jakarta yang Tak Berhenti Diteror

Teror memang tidak pernah berhenti. Setiap tahun, ada saja yang terluka karena teror. Film 22 Menit adalah gambaran salah satu teror yang pernah terjadi di Indonesia.

Ardi (Ario Bayu) adalah anggota polisi yang tergabung dalam pasukan anti terorisme. Firman (Ade Firman Hakim) adalah polisi lalu lintas, Mitha (Hana Malasan) seorang karyawan yang tengah sibuk dengan jadwal meetingnya.

Sementara itu, Anas (Ence Bagus) yang sedang membeli sarapan siang berupa sate merupakan sekelumit karakter yang tampil dan terlibat dalam film arahan Eugene Panji dan Myrna Paramita.

Degup jantung Jakarta tidak beraturan saat bom di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat meledak. Apalagi, kejadian berlangsung di pusat kota yang ramai ditambah dengan lokasinya yang sangat dekat dengan istana Negara, tempat pemimpin nomor satu ini “diteror” dengan permasalahan negara yang tak kunjung selesai.

Warga Jakarta yang terbiasa suka berbagi dengan membicarakan sebuah hal besar pun ikut menjadi bagian yang diteror saat itu. Pesan berantai yang dimulai dari media dan menyebar melalui media sosial menjadi teror yang terbentuk karena ulah para teroris.

Jelas saja, Ardi sebagai anggota pasukan anti terorisme yang tengah melewati jalan protokol Jakarta harus berhadapan dengan kelompok teroris. Tentu saja Ardi tidak sendirian, satuan pasukan khusus anti teror langsung turun memberikan pengamanan super ketat.

Bagaimana sebenarnya kejadian dari pelumpuhan teroris dari kacamata polisi? Benakarkah waktu 22 menit adalah salah satu keberhasilan terbaik pihak kepolisian melumpuhan para teroris?

Semuanya akan terjawab dalam film aksi drama 22 menit yang tayang di bioskop mulai tanggal 19 Juli 2018.

Alur Cerita

review-film-22-menit-getir-urban-jakarta-yang-tak-berhenti-diteror

Alur cerita yang cukup berani ditampilkan oleh dua sutradara. Kejadian di dalam film ini direka dengan kejadian maju dan mundur, setidaknya hingga film ini menyampaikan apa yang ingin diceritakannya.

Adegan maju-mundur pun terbilan cukup rapi dan tidak membuat penonton binggung. Hanya, saja film ini tidak memiliki karakter unggulan, karena jalan cerita 22 menit dibuat dari berbagai macam sudut pandang masyarakat Jakarta.

Sisanya, film ini lebih banyak menampilkan kemampuan satuan anti terorisme dalam menampilkan kemampuan mereka. Meskipun untuk beberapa adegan, khususnya di bagian aksi pengamanan dan penyelamatan masih terlihat canggung.

Beberapa fakta cerita pun terasa janggal. Misalnya saja ketika Firman meminta izin untuk menangani masalah perampokan sebelum terjadinya ledakan bom. Meskipun masih memiliki beberapa kekurangan, namun dua sutradara ini tetap mampu mengangkat sisi lain dari kehidupan masyarakat Jakarta.

Baca Juga: Sinopsis Film 22 Menit 

Getir Urban Jakarta

review-film-22-menit-getir-urban-jakarta-yang-tak-berhenti-diteror

Sugene Panji dan Myrna Paramita memang menyuguhkan aksi di dalam film ini. Namun, untuk beberapa hal, kisah keberhasilan polisi menyingkirkan teror belum terlalu sempurna. Alih-alih menampilkan pertarungan antara polisi dan para terorisme, film ini mampu menampilkan sisi lain, yaitu kegetiran masyarakat urban Jakarta yang tidak pernah berhenti diteror.

Teror yang tidak selalu berujung pada bentrokan atau aksi baku tembak. Namun, teror yang terus terjadi di sendi-sendi kehidupan masyarakat. Misalnya saja ketika karakter Anas (Ence Bagus) yang harus berjuang demi keluarganya.

Abangnya Hasan (Fanny Fadillah) terjebak dalam permasalahan bisnis yang selalu gagal. Teror yang terus membebani pikirannya sendiri, sehingga harus memilih apakah bekerja kantoran atau mengikuti kata hatinya menjalankan bisnis sendiri.

Masih ada generasi milennial dalam karakter Mitha (Hana Malasan) yang biasa menghabiskan waktunya di coffee shop sembari menunggu jadwal-jadwal padat yang akan dikerjakannya selama di kantor nanti.

Mitha “diteror” oleh rasa kegagalan meetingnya yang tidak akan berjalan lancar jika temannya tidak datang tepat waktu.

Lalu, kisah Firman (Ade Firman Hakim), polisi lalu lintas yang sedang “diteror” dengan hubungan yang tidak pasti dengan Sinta (Taskya Namya). Permasalahannya sepele, pernikahan yang akan mereka laksanakan terhalang dengan rencana pemindahan Firman ke luar Pulau Jawa.

Teror-teror seperti ini yang secara berkelanjutan terus menghantui kaum urban Jakarta. Teror yang tidak akan pernah padam dengan segelas kopi di senja hari atau dialog hingga dini hari.

Seperti yang terbesit dalam lirik lagu Semenjana yang tampil menjadi pengisi soundtrack film 22 menit

hey
yang tinggal di jakarta
banyak peran disana
ratusan suku bangsa

hey
serunya di jakarta
ada banyak cerita

Nonton 22 Menit

Ingin melihat langsung kegetiran apa yang sebenarnya terjadi selama ledakan di kawasan Sarinah, Thamrin dua tahun silam? Kamu bisa menyaksikannya langsung di bioskop, dan pesan tiketnya di BookMyShow.

 

2 thoughts on “Review Film: 22 Menit, Getir Urban Jakarta yang Tak Berhenti Diteror

Comments are closed.