Review Film: Segarnya Nostalgia Masa SMA di Spider-Man: Homecoming

Akhirnya Spider-Man dikemas dengan karakter yang menyerupai komik tanpa kelihatan terlalu komikal. Setelah inkarnasi Spider-Man terakhir yang tidak begitu menggigit, kini Spider-Man menyapa kita lagi dengan cara yang amat personal. Spider-Man: Homecoming boleh jadi merupakan film Spider-Man yang tak hanya menawarkan aksi spektakuler, tapi juga digarap dengan sepenuh hati. Jika Spider-Man: Homecoming adalah sesosok makhluk hidup, maka dia layak mendapat pelukan yang erat dan hangat.

Di dunia komik, Spider-Man adalah salah satu karakter yang paling populer sepanjang masa, saingannya mungkin hanya Batman. Namun, di dunia film Spider-Man tenggelam oleh digdayanya Iron Man. Iron Man sudah mencetak pemasukan US$ 2 miliar dari film-filmnya. Itu belum dihitung film di mana Iron Man hadir, seperti Avengers dan Captain America: Civil War. Tidak mau Spider-Man disia-siakan, Sony Pictures yang memegang hak produksi karakter ini pun bekerja sama dengan Marvel Studios untuk membuat manusia laba-laba ini kembali mendapatkan hati penonton.

Kolaborasi Marvel Studios dan Sony Pictures ini memang memuaskan. Jika Sam Raimi berhasil menancapkan sebuah standar film superhero saat Spider-Man rilis di tahun 2002, film ini mampu menampilkan Spider-Man yang paling pas. Dari segi karakterisasi, pemilihan pemain, tema, dan juga alur cerita, film ini benar-benar seperti Spider-Man yang keluar dari panel komik. Raimi bukannya tidak berhasil melakukan itu. Dia sukses menghidupkan Spider-Man secara visual, tetapi kekurangan versi lawas Spider-Man adalah sosok yang terlalu karikatural.

Alur cerita Spider-Man: Homecoming dibuat berbeda dari versi 2002 ataupun versi 2012 besutan Marc Webb. Di versi baru ini, tidak ada lagi kisah Peter Parker yang larut dalam perasaan bersalahnya akibat tewasnya Paman Ben. Di versi ini juga tidak perlu lagi diceritakan dengan detil bagaimana dia menjadi Spider-Man. Spider-Man: Homecoming mengambil tempat sesaat setelah Peter Parker membantu Tony Stark menghentikan Captain America di film Civil War. Pergelutannya berkutat di kesehariannya sebagai anak sekolah sekaligus mencari cara agar Iron Man tertarik merekrutnya menjadi anggota Avengers.  

Demi menyajikan film Spider-Man yang lebih fresh, Spider-Man: Homecoming pun dikembangkan dengan cara yang berbeda. Di sini Peter Parker dikembangkan dengan cara lebih personal dan tampil membumi sebisa mungkin. Peter Parker pun dibuat seandainya anak seusianya tiba-tiba mendapat kekuatan super. Manusia biasa mendapat kekuatan super tentu memiliki perjuangan yang tidak mudah. Mulai dari bagaimana mengontrol kekuatannya, sampai ke hal yang memengaruhi perkembangan kepribadiannya. Dan Tom Holland sukses memerankan Peter Parker yang sangat menyenangkan.

Tom Holland memang seolah lahir menjadi seorang Peter Parker. Fisiknya sempurna sebagai Peter Parker. Andrew Garfield mungkin memiliki akting yang bagus saat menjadi Peter Parker, tetapi tubuhnya terlalu jangkung sebagai si manusia laba-laba. Fisik Tobey Maguire sebenarnya cukup pas, sayangnya dia terlalu tua (berusia 29 tahun saat tampil di Spider-Man 2002) untuk menjadi Peter Parker masa sekolah. Di luar soal fisik, Tom Holland berhasil menjelma menjadi Peter Parker yang ideal. Di film ini, selalu seru menyaksikan tingkah polah Tom Holland baik sebagai Spider-Man maupun Peter Parker. Tom Holland adalah Peter Parker dan Spider-Man terbaik sejauh ini, melebihi Tobey maupun Andrew.

Vulture menjadi musuh yang menabur kengerian dan membuat film lebih seru.

Musuh utama pun jadi kekuatan lain. Film-film Marvel selalu dikritik soal kehadiran musuh utama mereka, tapi Spider-Man: Homecoming tidak menderita kekurangan ini. Michael Keaton sanggup tampil mengerikan menjadi Adrian Toomes atau Vulture. Motivasinya menjadi penjahat pun masuk akal, berbeda dengan villain kebanyakan di film-film superhero. Interaksinya dengan Spider-Man juga menarik diikuti.

Faktor lain yang membuat Spider-Man: Homecoming jadi luar biasa adalah cara unik Jon Watts sebagai sutradara mengemas film ini secara keseluruhan. Ketika Spider-Man diposisikan sebagai anak SMA, maka Watts pun memfokuskan hidup Peter Parker pada pergulatannya di dunia sekolah. Pendekatannya pun dibuat ala film SMA tahun 1980-an besutan John Hughes seperti Sixteen Candles, The Breakfast Club, atau yang legendaris Ferris Bueller’s Day Off. Kalau memperhatikan dengan seksama, maka kamu akan menemukan easter egg Ferris Bueller di Spider-Man: Homecoming.

Meski Ironman terlihat dominan di trailer, filmnya tidak terlalu banyak menampilkan karakter ini,

Dengan pendekatan ala film-film John Hughes, Spider-Man: Homecoming memperlihatkan problematika yang umum terjadi di dunia sekolah, seperti hukuman jika membolos, naksir gadis populer, dan belum lagi pesta alumni. Seolah Peter Parker membawa penonton mengingat-ingat lagi masa sekolah mereka. Sangat personal. Dengan begini, Spider-Man: Homecoming tidak mengandalkan adegan aksi dan efek spesial belaka, tetapi juga interaksi di dunia kehidupan Spider-Man yang dibangun. Salah satu bagian terbaik di film ini malah tidak melibatkan kecanggihan efek spesial sama sekali.

Maka, segera beli tiket Spider-Man: Homecoming dan saksikan dalam format terbaik seperti Starium CGV atau 4DX. Film ini layak ditonton dengan kualitas layar dan suara yang spektakuler. Perhatikan juga easter egg yang bertebaran di sepanjang film. Beberapa karakter penting di komik muncul di film ini, dan membuat penonton menebak-nebak bagaimana sekuelnya nanti. Film ini aman untuk ditonton bersama keluarga. Durasinya 130 menit, cukup panjang tapi tenang saja waktu selama itu tidak membuat film ini membosankan ditonton.

Tunggu apalagi? Segera beli tiketmu di sini.

 

Baca Juga:
10 Fakta Menarik Tom Holland, Pemeran Spider-Man: Homecoming
Intip Keseruan Peter Parker cs dalam Premiere Spider-Man: Homecoming

2 thoughts on “Review Film: Segarnya Nostalgia Masa SMA di Spider-Man: Homecoming

Comments are closed.