Review Film: Wonder Woman, Film Superhero Wanita Penyelamat DC

Dua film superhero yang diproduksi DC dan Warner Bros Pictures, Batman v Superman dan Suicide Squad, yang juga masuk dalam DCEU (DC Extended Universe) bisa dibilang cukup absurd. Namun DC sepertinya mendapat angin segar dengan hadirnya film superhero terbarunya, Wonder Woman.

Secara tema, Wonder Woman memang berbeda dari dua film sebelumnya. Selain digarap lebih rapi, film garapan Patty Jenkins ini juga punya topik yang lebih ringan dengan adegan laga yang cukup mengena serta humor yang menyelingi tiap adegan. Tradisi film keluaran DC yang ingin tampil lebih kelam pun tampaknya berusaha ditinggalkan.

Salah satu kekuatan Wonder Woman adalah film ini mampu menutup kelemahan-kelemahan dalam filmnya. Mulai dari CGI, musuh utama, plot, dan dialog seakan kurang dikerjakan secara seksama. Selalu saja ada beberapa adegan laga di mana Wonder Woman kelihatan layaknya boneka animasi yang gerakannya seperti karet. Puncaknya terjadi di bagian terakhir, bagian terlemah dari film ini. Namun berkat kelihaian Patty Jenkins, kekurangan-kekurangan itu terasa memudar dengan hadirnya pesona lain yang mampu membuat penonton maklum.

Wonder Woman bercerita tentang Diana yang tinggal di Themyscira bersama perempuan-perempuan Amazon sebangsanya. Dia dilatih sejak kecil, dipersiapkan untuk menghadapi ancaman Ares yang bisa menyerang Themyscira kapan saja. Suatu hari, Steve Trevor seorang tentara Amerika terdampar di Themyscira. Misi kemanusiaan Diana pun berlanjut dengan perjalanan ke belahan bumi lain untuk menghentikan Perang Dunia I.

Sebagai sutradara, Patty Jenkins tidak terlihat berkarat meski dia sudah 14 tahun (setelah Monster, 2003) tidak menggarap film bioskop. Di film ini Patty Jenkins belajar dari kesalahan yang kerap dibuat oleh film-film DC sebelumnya. Kesalahan seperti membiarkan pihak produser terlalu banyak campur tangan adalah hal yang berhasil dihindari. Hasilnya adalah Wonder Woman menjadi tontonan yang lebih utuh dan lebih mengalir. Tidak berantakan seperti Suicide Squad, atau disunting dengan ceroboh seperti Batman v Superman.

Salah satu cara Patty Jenkins membuat penonton tidak fokus pada kelemahan film ini adalah cara dia mengarahkan Gal Gadot. Gal Gadot adalah aktris memesona, namun belum teruji kemampuan aktingnya. Dengan keterbatasannya, Patty Jenkins tetap bisa memaksimalkan aktingnya. Karakter Wonder Woman pun sengaja dibuat sebagai superhero yang masih polos dan masih gagap dengan dunia luar. Polos namun punya sedikit princess syndrome, layaknya sang putri yang baru keluar dari istana cantiknya.

Agar akting Gal Gadot tidak terlihat kaku, karakter lain pun diperkuat. Salah satu yang patut mendapat acungan jempol adalah Steve Trevor, karakter yang dalam komiknya dikisahkan sebagai pendamping Wonder Woman. Karakter ini berhasil diperankan Chris Pine dengan apik. Chris Pine memang membantu membuat film Wonder Woman bersinar. Film yang memiliki perbatasan tipis antara dicintai atau malah dibenci ini terselamatkan dengan hadirnya Pine. Aktor berusia 36 tahun ini pun sukses menghidupkan karakter Trevor dengan pesona dan kharismanya.

Poin plus lain dari film ini adalah set yang digarap nyaris sempurna. Adegan-adegan di Themyscira terlihat begitu cantik. Patty Jenkins mampu menangkap pesona Basilicata, Italia yang menjadi lokasi syuting untuk pulau Themyscira. Selain itu latar belakang Perang Dunia I yang belum pernah diambil untuk film bertemakan superhero juga terlihat wah. Hal ini mampu memberikan pemandangan perang yang amat menarik.

Namun, sehebat-hebatnya Patty Jenkins menutupi kekurangan film ini, tetap saja ada beberapa part yang jika diperhatikan terlihat cukup mengganggu. Padahal film ini punya potensi besar menjadi film superhero terbaik yang pernah dibuat jika saja digarap lebih serius. Durasi film menjadi problem yang paling mengganggu. Entah kenapa Wonder Woman harus dibuat menjadi versi 140 menit untuk rilis di bioskop. Padahal jika diipotong di beberapa bagian, film ini toh tidak akan kehilangan maknanya. Dengan durasi yang tidak perlu sepanjang ini, beberapa adegan malah terlihat membosankan.

Efek spesial juga menjadi aspek yang tidak sempurna. Pada adegan akhir, ketika Wonder Woman bertarung melawan musuh besarnya pun tampak awut-awutan. Adegan terakhir terasa antiklimaks dibanding adegan-adegan sebelumnya di seluruh film. Dialog juga menjadi terasa mengganggu. Chemistry Diana dan Steve Trevor sebenarnya sudah cukup hangat dan menarik. Hanya saja dialog mereka terkadang terdengar kacangan dan terlalu panjang.

Di luar segala kelebihan dan kekurangannya, Wonder Woman tetap menjadi film yang layak ditonton di tahun 2017 ini. Minimnya konten dewasa membuat film ini cocok untuk disaksikan bersama keluarga. Berbeda dengan film-film DC sebelumnya, Wonder Woman memiliki jalan cerita yang lebih mudah dipahami. Terlebih tema jagoan wanita juga menjadi topik menarik yang patut disaksikan bagi kamu para wanita.

Film Wonder Woman tayang di bioskop Indonesia mulai 31 Mei 2017. Segera pesan tiketnya di sini.

 

Baca juga:

Diadaptasi dari Komik DC, Ketahui Asal Usul Wonder Woman Lewat 5 Fakta Ini

Daftar Bioskop yang Memutar Film Wonder Woman Serta Jadwalnya

 

4 thoughts on “Review Film: Wonder Woman, Film Superhero Wanita Penyelamat DC

Comments are closed.